Di masa sekarang dan tepatnya di negara
kita “Indonesia”, nepotisme sudah bukan hal yang dianggap tabu. Walau banyak sekali
sosialisasi tentang bahaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dari pihak
pemerintah, lembaga pendidikan sampai lembaga penegakkan hukum, tetapi tak
jarang kita temui praktik nepotisme bahkan dalam lembaga lembaga yang dengan
gencar melakukan sosialisasi KKN. Nepotisme dalam dunia pendidikan jelas sekali
memberikan dampak negatif yang sangat besar, karena lembaga pendidikan
merupakan tempat dimana tumbuh dan berkembangnya generasi penerus bangsa, yang
akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di negeri ini.
Nepotisme berasal dari bahasa latin,
“nepos”, yang artinya “keponakan” atau “cucu” dalam hal ini nepos bisa
diartikan sebagai kerabat, saudara, maupun teman yang memiliki kedekatan yang
sangat dekat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(2001, P 780), Nepotisme bisa diartikan perilaku yg memperlihatkan ke sukaan
yang berlebihan kepada kerabat dekat, kecenderungan untuk mengutamakan
(menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di
lingkungan pemerintah, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri
untuk memegang pemerintahan.
Prof Dr. Amien Rais juga memberikan argumennya
yang mengatakan bahwa “Nepotisme merupakan bagian dari korupsi dimana salah
satu bagiannya adalah korupsi dalam tiga Jenis: Pertama, ekstrortif korupsi,
yaitu merujuk pada situasi di mana seseoarang terpaksa menyogok agar dapat
memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi/perlindungan atas hak-hak dan
kebutuhannya. Kedua, korupsi manipulatif, yaitu merujuk pada usaha kotor yang
dilakukan seseorang untuk mempengaruhi kebijakan atau keputusan pemerintah
dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Ketiga, korupsi
nepotistik, yaitu merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada
anak-anak, kemenakan, saudara dari pejabat. Diharapkan perlakuan istimewa
tersebut dapat membagi rejeki antar mereka saja.”
Menurut Prof. Dr. Kamaruddin Hidayat, “Nepotisme
adalah menejemen kepegawaian yang menggambarkan sistem pengangkatan,
penempatan, penunjukan dan kenaikan pangkat atas dasar pertalian darah,
keluarga atau kawan.”
Jadi, dari beberapa pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa nepotisme merupakan suatu sistem pengangkatan,
penempatan, ataupun penunjukan seseorang terhadap sebuah pangkat/jabatan dengan
dasar rasa kekeluargaan dan kedekatan pribadi tanpa mementingkan kualifikasi
ataupun kemampuan orang tersebut dalam bidang yang akan diberikannya.
Kualifikasi bagi pendidik sudah jelas
diatur dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab V, bagian
satu kualifikasi, kompetensi, sertifikasi, dan jabatan akademik. Dalam UU
tersebut tertulis bahwa kualifikasi untuk guru dibahas pada pasal 8, yang
berbunyi:
“Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidikan, sehat jasmai dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”
Sedangkan, untuk kualifikasi dosen dibahas pada pasal 45, yang berbunyi:
“Dosen wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan
tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional”. Lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana.”
Seorang pendidik dapat dikatakan profesional jika telah memiliki 4
kompetensi, yaitu:
1.
Kompetensi Pedagogik
Kompetensi ini menekankan bahwa tenaga kependidikan
harus memiliki pemahaman terhadap peserta didiknya, serta guru harus terampil
dalam melakukan proses perancangan, pelaksanaan, evaluasi serta pengembangan
dalam pembelajaran sehingga potensi peserta didik dapat berkembang dengan baik.
2.
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi ini menekankan terhadap sikap dan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif, berwibawa, berakhlak mulia, serta dapat menjadi teladan bagi peserta
didik.
3.
Kompetensi Sosial
Kompetensi ini menekankan terhadap kemampuan tenaga
kependidikan dlam berkomunikasi dan bergaul dengan peserta didil, sesama
pendidik, orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar.
4.
Kompetensi Profesional
Kompetensi ini menekankan bahwa pendidik harus menguasai
materi-materi pendidikan, seperti kurikulum, substansi ilmu yang menaunginya, dsb.
Seorang
pendidik harus memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, yang dibahas dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sisdiknas, yaitu:
“Tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Sudah jelas bahwa nepotisme dalam dunia pendidikan
sangat berbahaya, pengangkatan seorang pendidik secara nepotisme untuk mendidik
peserta didik akan sangat berpengaruh terhadap kualitas peserta didik, karena
pendidik tersebut diangkat tanpa memperhatikan kualifikasi serta kompetensinya
sebagai pendidik. Hal ini juga berkaitan dengan tidak terciptanya tujuan
pendidikan di Indonesia, oleh karena itu nepotisme dalam dunia pendidikan akan
berpengaruh terhadap kualitas generasi muda bangsa yang merupakan pondasi
bangsa Indonesia, jika pondasi negara ini kuat maka masa depan cerah untuk
negara ini bisa saja terwujud tetapi jika pondasinya lemah maka terwujudnya
masa depan cerah untuk negara ini tidak akan terwujud.
Oleh
karena itu, pengawasan dan pemberantasan terhadap praktik nepotisme dalam dunia
pendidikan di Indonesia harus dilakukan secara maksimal dan lebih ketat lagi,
karena ini menyangkut masa depan untuk bangsa dan negara Indonesia. Evaluasi
dan akreditasi harus di lakukan dengan ketat baik dalam ruang lingkup lembaga
pendidikan samapai tenaga kependidikan untuk menghindari praktik nepotisme
dalam dunia pendidikan.
Author: Mohamad Irlin
Sunggawa
Rujukan:
http://harrynaga.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar